Beberapa bulan (atau tahun) terakhir ini, saya terusik dengan sesuatu yang punya embel-embel “khusus perempuan”. Kereta khusus perempuan atau tempat parkir khusus perempuan, misalnya. Yang bikin saya lebih lucu ketika ada Transjakarta khusus perempuan. Bukan cuma sebagian bus, tapi seluruhnya. Sayapun melakukan pengamatan kecil-kecilan tentang hal tersebut. Sebagai pengguna setia kereta sejak 2010, saya akan ambil kasus di kereta. Sepenglihatan saya, banyak tuh perempuan yang merasa nyaman dengan “kemanjaan” yang difasilitasi. Ya, menurut saya itu salah satu bentuk kemanjaan. Kenapa?
“Ya itu kan tujuannya untuk melindungi perempuan, Ren. Soalnya perempuan itu makhluk istimewa yang perlu dilindungi”, kata seorang teman di tahun lalu.
Keberadaan kereta khusus perempuan katanya dibuat untuk melindungi perempuan dari kasus-kasus yang sering terjadi di belahan dunia manapun, seperti pelecehan seksual. Banyak perempuan pun setuju dengan hal itu. Jika dilihat dari sudut pandang melindungi, saya sangat setuju. Meski begitu, keberadaan embel-embel khusus perempuan ini nampak mengistimewakan perempuan sekaligus melemahkannya. Agaknya hal ini sedikit bertolakbelakang dengan semangat feminisme yang selalu dikoar-koarkan; emansipasi perempuan.
Menurut saya, keberadaan hal “khusus perempuan” malah menunjukkan kalau wanita adalah makhluk lemah yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga butuh perlindungan (dan tempat yang) khusus. Tanpa disadari, kenyamanan berada di lingkungan yang “selalu perempuan” itu, akan membuatnya kaget dengan hal lain yang tidak ditemui di tempat “khusus perempuan”.
Hal lain yang saya selalu saya lihat adalah fenomena perempuan harus dikasih duduk lebih dulu daripada laki-laki. Sangaaatt sering saya lihat ketika kereta sedang dalam kondisi terpenuhnya, yang duduk di bangku kereta hampir semuanya perempuan. Padahal, ada laki-laki yang tampak tidak sehat sedang berdiri. Atau ada laki-laki yang sedang duduk, tampak ngantuk dan lelah, lalu ada perempuan muda, sehat, dan bugar tetiba datang kemudian meminta duduk pada laki-laki itu. HERANNYA DIKASIH! Asli, ga habis pikir saya. Hal yang tidak kalah lucu menurut saya ketika ada penumpang prioritas yang naik dan berdiri. Sering sekali saya melihat, akan ada perempuan yang nyolek laki-laki di dekatnya untuk berdiri. Saya pernah beberapa kali menegur perempuan yang melakukan itu. Biasanya perbincangannya akan jadi seperti ini:
saya (S): “kenapa nggak mbak aja yang berdiri?”
Mbak (M): “kan itu ada laki-laki, mbak”.
S: “Ya, terus kenapa kalau dia laki-laki”.
M: “Laki-laki yang seharusnya mengalah, dong!”
S: “Siapa yang mengharuskan?”
M: (diem) atau jawab: “Ya, emang kodratnya gitu!”.
Pilihan jawaban saya ada dua kalau sampai sejauh ini;
S-1: “Yang harusnya ngalah yang merasa lebih kuat, mbak. Percuma dong emansipasi kalo cewek masih ngerasa dirinya lemah”.
atau
S-2: “kodrat manusia di mata Tuhan semuanya sama, Mbak. Jadi yang ngalah ya yang lebih nggak membutuhkan aja. Bisa jadi bapak itu lebih membutuhkan dari mbak karena dia lagi pusing. Saya yakin mbak gak pusing kalau sampai bisa naik pitam kaya gini”.
Lagi-lagi, melemahkan dirinya sendiri. Secara objektif dan logis, semua penumpang di kereta itu membayar dan punya hak yang sama. Ketika ada penumpang prioritas, semuanya wajib mendahulukan mereka, baik itu laki-laki atau perempuan. Bukan cuma soal dia cowok. Kalau anda malas untuk berdiri karena lelah, ya udah lelah aja, ga usah bawa-bawa gender sebagai disclaimer.
Nggak, nggak, omongan saya di atas bukan berarti saya tidak akan membela perempuan yang membutuhkan bantuan. Mudahnya begini, ketika anda berada di kereta khusus perempuan, anda akan merasa aman dan bisa jadi tingkat kewaspadaanmu berkurang. Jika satu saat kamu harus berada di gerbong laki-laki atau berada di situasi tidak aman, bukan tidak mungkin kebiasaanmu merasa aman akan terbawa. Akhirnya, perempuanpun akan merasa tergantung dengan “perlindungan” orang lain. Padahal, seharusnya ia bergantung pada dirinya sendiri.
Kaget boleh, tapi jangan sampai gak tahu harus berbuat apa, apalagi sampai memaklumi tindakan tersebut. Jika merasa tidak mampu menghadapi sendiri, cari bantuan. Saya yakin kok, masih banyak orang baik di Indonesia yang akan menolong anda jika mengalami hal tersebut.
Kalau ada di antara anda yang berpikir, ‘ah, itu lo enak ngomong doang, ga pernah ngalami sih’. Percayalah, dengan penampilan selalu kasual dan cenderung tidak memedulikan penampilan perempuan seperi saya, saya pernah beberapa kali berada di situasi tersebut. Mari, kita berbagi pengalama secara pribadi
Jadi, baiknya gimana? Lagi-lagi menurut pengamatan saya yang sok tau ini, itu dua kereta perempuan di bagian depan dan belakang dihilangkan dan diubah jadi kereta khusus prioritas. Jauh lebih aman, nyaman, efektif, dan tepat sasaran.
Lewat tulisan ini, saya juga tidak menganggap diri saya seorang feminis, namun yang saya tahu dan percaya, perempuan jauh lebih kuat dari yang dibayangkan. Dan satu lagi yang saya tahu, pembelaan terhadap perempuan tidak dimulai dari gerakan lembaga-lembaga penggiat feminisme, namun dari diri sendiri.
Comments
Post a Comment